Renungan Islam | Jamaah dan Essensi Persatuan Umat (3)


l. Ta’aruf (Saling Mengenal)

Bagaimana mungkin terjadi wujud persaudaraan apabila hati penuh dendam amarah. Apakah kita telah berubah haluan sehingga menjadikan hawa nafsu menjadi Tuhan, dan tidak ada lagi pintu hati yang terbuka untuk mengulurkan tangan? Bagaimana mungkin kita membangun tali persatuan apabila tali silaturrahmi telah putus atau bahkan menumpuk di “gudang” karena tidak pernah direntangkan sama sekali?

Padahal, kita mengenal peribahasa: “tak kenal maka tak sayang”. Begitu juga dalam hal berjamaah, ta’aruf ini merupakan tiang pertama yang harus ditegakkan dalam menjalin tali persaudaraan. Dengan frekuensi dan intensitas yang tinggi, setiap anggota jamaah wajib ber-ta’aruf sehingga dengan cara seperti ini, akan timbullah tiga rasa yang merasuk setiap relung dada anggota jamaah yaitu sebagai berikut:

Timbulnya rasa persaudaraan yang kokoh.
Berseminya rasa kasih sayang yang mendalam.
Berbuahnya rasa tanggung jawab yang besar.

Untuk membuahkan rasa persaudaraan tersebut, setiap anggota hendaknya memiliki jiwa besar untuk siap menerima dan memberikan bantuan dan pertolongan kepada sesama saudaranya. Menerima kritikan dan memberi teguran dengan kata-kata yang penuh kebijakan adalah warna anggota jamaah yang rindu persaudaraan muslim tersebut. Hendaknya, jiwa besar ini mampu mendorong setiap anggota untuk berpikir positif (khusnudzan), dengan cara sesama saudaranya saling menasihati. Kalau perlu memberikan kritikan kepada sesama saudaranya dengan landasan semangat seorang mutawadhi (rendah hati). Kritikan yang diarahkan kepada dirinya, akan dia terima atau dianggap sebagai “pantulan cinta” dari sesama saudaranya yang merasa takut apabila dirinya terjerumus dalam kezaliman.

Bagi sesama anggota jamaah, kritikan dianggapnya sebagai cermin sikap diri, yang sekaligus merupakan dampak yang memberikan informasi atas segala bentuk tingkah pola dan wajah diri di hadapan orang lain. Bagaikan orang yang bersolek di depan cermin, maka demikianlah pantulan cermin itu sebagai kritik diri. Seandainya, ada kotoran pada wajah, tentu kita berterima-kasih kepada cermin, karena dengan informasi yang dipantulkannya kita menjadi tahu di mana letak kotoran tersebut menempel. Alangkah lucunya, apabila kita marah dan memecahkannya, hanya karena wajah kita tampak kotor di depan cermin tersebut

Walau begitu hendaknya kita waspada terhadap kritikan, sebab bisa jadi memang cermin yang kita hadapi itu, adalah cermin yang kurang memiliki pantulan yang baik. Cermin yang tidak objektif, yang tidak memantulkan wajah kita yang sebenarnya. Orang dengan niat dan itikad tertentu mungkin saja memberikan informasi yang baik, padahal ada udang di balik batu. Maka dengan sikap yang positif, kita harus tetap waspada, dengan cara melakukan pemeriksaan ulang (rechecking) terhadap informasi yang diterima. Hal itu sebagaimana firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (al-Hujurat: 6).

Dengan ayat ini dimaksudkan agar setiap pribadi muslim tidak cepat menjatuhkan vonis, berprasangkaa buruk apabila menerima sesuatu berita yang menyangkut sesama saudaranya anggota jamaah. Dengan mengenal saudaranya secara mendalam, baik cara berpikirnya, kesulitannya, kelemahan, dan kelebihannya maka kita tidak akan tergesa-gesa bersikap reaktif terhadap sesuatu berita yang dapat merugikan sahabat dan saudara kita.

Sesungguhnya, yang menghancurkan umat itu adalah wabah buruk sangka. Kurang ta’aruf dan silaturrahmi diantara kaum muslimin, sehingga menyebabkan setiap pribadi mengambil keputusan atau membuat asumsi menurut prasangkanya sendiri. Jika ada seorang teman yang menonjol, biasanya berseliweran tanggapan terhadapnya. Seorang muslim yang lemah, dengan mudah menerima informasi dari pihak lain yang tidak jelas kebenarannya, kemudian dengan sangat berapi-api membuat analisis subjektif dan terus menjatuhkan vonis melampui batas hukum. Padahal, seharusnya ia tidak langsung menjatuhkan vonis bersalah, sebelum mengetahui kebenaran fakta kesalahannya.

Al-Qur’an pun mengajarkan sikap kritis dan melarang hanya memperturutkan hawa nafsu untuk mengikuti sesuatu tanpa ilmu atau data terlebih dahulu –sebagaimana termaktub pada surat al-Isra’:36. Vonis terhadap suatu berita yang belum diperiksa kebenaran faktanya, adalah suatu fitnah. Dengan fitnah, seseorang dihadapkan pada musuh yang tidak berwujud. Dengan fitnah itu pula, seseorang akan tersingkir dari dunianya, dia akan sangat menderita lahir dan batin. Oleh karena itu, kita menyadari betapa besarnya dampak dari suatu fitnah, maka janganlah terlalu cepat mencap negatif terhadap sesama saudara kita, sebelum berjumpa atau mengetahui duduk perkaranya.

Sesungguhnya, dalam hal inilah, kebanyakan manusia mendapatkan dirinya sangat lemah, karena memang setan sangat berkepentingan untuk menumbuhkan perpecahan di kalangan saudara sesama muslim tersebut. Kendati sudah dilakukan pemeriksaan terhadap kebenaran berita yang ada, dan ternyata saudara kita memang bersalah, maka untuk menyelamatkan saudaranya dari jurang kehancuran, di dalam dadanya terkandung rasa cinta yang menutupi jelaga kebencian yang membara dalam nafsu dirinya. Tundukkan kepala, ketika menerima berita buruk yang menimpa saudara kita. Kemudian berangkatlah menemuinya untuk menanyakan kebenaran berita tersebut, dan jika ada sesuatu keburukan maka cegahlah dengan perasaan penuh kasih sayang.

Hal itu sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Orang muslim dengan muslim lainnya itu bersaudara. Ia tidak menzaliminya dan tidak saling membiarkan.” (al-Hadits).

Inilah ikatan yang kuat diantara sesama muslim. Seorang muslim sejati meyakini bahwa dirinya belum pantas tergolong orang mukmin apabila dia tidak mencintai sesama saudaranya, sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri. Seorang muslim tidak akan melakukan sesuatu yang menyakiti orang lain, karena dia sendiri tidak mau diperlakukan dengan perbuatan seperti itu. Agama Islam bukanlah “agama museum” yang hanya sedap dalam pandangan, hanya digemari oleh para kolektor barang antik yang termenung dalam kenangan penuh nostalgia. Islam adalah agama amaliah yang mengalir hidup untuk menghidupkan.

Tanamkanlah pada diri kita bahwa Islam ini akan jaya, bila setiap muslim sudah mempunyai niat, tindakan, dan wawasan bahwa jamaah itu adalah penting sebagai tali pengikat untuk berdirinya daulat Islamiyah. Dengan menanamkan pentingnya jamaah maka setiap muslim akan mampu mencurahkan kasih bagi alam semesta, sesuai dengan karakter setiap muslim yang harus tampil membawakan panji rahmatan lilalamin. Sebenarnya, eksistensi manusia itu hanya berharga ketika dia beda dalam kebersamaan. Sebab itu, tidak mungkin seorang muslim menutup sebelah mata terhadap orang lain (nonmuslim), sebab bagaimanapun juga orang lain tersebut telah membawa arti bagi eksistensi dirinya tersebut.

Cobalah renungkanlah, mungkinkah kita bisa menikmati sepiring nasi, apabila tidak ada seorang petani pun yang menanam padi? Mungkinkah seorang pemimpin menepuk dada, apabila tidak ada pengikut yang mendukungnya? Pantaskah seorang bangga dengan menyandang atributnya sebagai hartawan, apabila tidak ada orang miskin? Itulah tiang ta’aruf dalam membina persaudaraan Islam. Mereka sangat mendalam perhatiannya pada sesama saudaranya, sebagaimana kepada dirinya sendiri.

2. Tafahum (Saling Memahami)
Tiang persaudaraan yang kedua adalah tafahum yang artinya saling memahami atau ingin mengerti lebih mendalam. Tafahum berarti pula usaha setiap muslim untuk dapat menggali informasi sebanyak mungkin. Yaitu, menggali segala hal yang berkaitan dengan “cara berpikir” dan “lingkup pengalamannya” dari sesama saudara sejamaah.

Masing-masing anggota akan saling menyesuaikan dirinya dengan kedua faktor tersebut, sehingga timbulah apa yang disebut dengan kerja sama yang harmonis: kesamaan wawasan, tujuan, dan tindakan. Harus dipahami bahwa keutuhan mereka itu sudah merupakan satu semen perekat yang membaur dan sulit untuk dipisahkan, karena terjadi suatu simbiosis-mutualis (kerja sama yang harmonis) yang sangat masif (utuh). Komunikasi yang harmonis, silaturahmi yang ikhlas dalam frekuensi yang intens, merupakan cara kita menjalin hubungan persaudaraan. Dalam hal ini, perlu disimak ucapan dari Ali bin Abi Thalib r a., “Setiap manusia memandang manusia yang lainnya berdasarkan tabiatnya.”

Juga sebagaimana Rasulullah saw bersabda, “Kami diperintahkan supaya berbicara kepada manusia menurut kadar akalnya masing-masing.” (al-Hadits).

Hadits tersebut memberikan keyakinan kepada diri kita bahwa setiap muslim harus dapat menyampaikan idenya sesuai dengan kadar akalnya, tabiat, serta pengalaman sesama saudaranya. Dengan pendekatan ini, diharapkan setiap ucapan tidak akan menimbulkan kesalah-pahaman diantara sesama saudara sejamaah. Untuk belajar memahami orang lain, hendaknya kita mampu mengidentifikasikan diri kita, sebagaimana karakter orang lain. Kita harus memiliki gambar khayalan tentang saudara kita yang kita sebut empati (memahami seseorang, ed.). Tafahum dalam persaudaraan merupakan tiang yang sangat penting agar dapat menyelami hakikat persaudaraan dengan cinta dan hikmah. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik….” (an-Nahl: 125).

Sesama muslim juga saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, serta saling bertukar pikiran (mudzakarah) diantara sesama muslim. Hal itu merupakan dasar pokok terwujudnya persaudaraan Islamiyah. Dengan bertambah intensifnya komunikasi, bertambah seringnya bersilaturrahmi, dan bertambah luasnya saling tukar pikiran diantara sesama muslim, maka niscaya akan datang suatu saat di mana kasih sayang itu akan tumbuh dengan semarak dalam jamaah muslimin. Juga kita tidak perlu harus tergesa-gesa untuk segera menerima paham orang lain.

Hendaknya disadari bahwa di dunia ini tidak mungkin mengharapkan semuanya serba seragam dan serba memuaskan. Sebab, itu adalah salah satu sikap kita untuk mencapai tafahum dan mencari titik persamaan. Dari titik inilah, kita mulai berbicara dan mengembangkannya. Kemudian titik persamaan itu bertambah melebar, sehingga perbedaan yang secara kualitatif tidak bersifat hakiki, dapat kita abaikan untuk sementara waktu. Akan tetapi, kita akan banyak berkomunikasi berdasarkan sifat-sifatnya yang sama sebagai nilai pertama dari awal jalinan silaturahmi. Kita hendaknya bersabar dan konsisten untuk menjadikan perbedaan itu tergeser oleh berbagai persamaan dalam segala hal, baik itu wawasan, sikap, dan tindakan. Dengan bertambah melebarnya persamaan dan menyempitnya perbedaan, maka jadilah kita kelak bagaikan satu mata uang yang berhimpit, serta sempurna bagaikan satu tubuh yang menyatu.

Selanjutnya, hendaklah kita dapat berpikir realistis dan terbuka, serta tidak cepat menyerah apabila berhadapan dengan orang yang berbeda pendapat. Karena dengan kesabaran dan sikap yang istiqamah, tidaklah ada sesuatu yang tidak mungkin untuk ditundukkan. Bagaikan air yang menetes secara perlahan dan kontinu, ternyata mampu memberikan bekas mendalam, yaitu sebuah lubang pada batu cadas. Memahami seseorang, berarti kita masuk ke dalam diri orang tersebut. Kita tidak dapat dengan cepat mengambil kesimpulan tentang baik dan buruk seseorang. Kita harus mengenal dengan sangat kental dan terjun ke dalam hati sanubarinya. Memang inilah beratnya. Kadang-kadang asumsi-asumsi subjektif sering menyelusup ke dalam hati kita, serta nilai ukur yang membuka diri, sehingga tidak ada dialog yang merupakan cara untuk melakukan pengambilan kesimpulan dari dua arah.

Kita sangat akrab dengan istilah ukhuwah, yang artinya persamaan, keselarasan, dan keserasian. Apabila kata ukhuwah ini kita tambah dengan Islamiyah, berarti mempunyai makna, sebagai berikut:
a. Persamaan antara sesama muslim.
b. Persaudaraan yang bersifat Islami.
c. Persaudaraan yang diikat oleh nilai-nilai Islam dan sebagainya.

Apa pun juga, apabila kita hayati makna ukhuwah maka harus ada semacam getaran awal pada diri kita akan makna persamaan, keakraban, persaudaraan, sebagaimana dalam kamus bahasa Arab kata al-akh dapat berarti bersahabat, intim, atau akrab. Bahkan, kata al-akh dalam Al-Qur’an dalam bentuk jamak disebut sebanyak 52 kali dalam konteks pengertian yang merujuk pada arti saudara kandung.

Dengan demikian, ketika berbicara, mengulas, bahkan mempraktekkan ukhuwah Islamiyah, yang terkandung di dalamnya suatu upaya diri untuk mencari titik persamaan diantara sesama muslim yang didasarkan pada semangat persaudaraan. Banyak orang melupakan makna persamaan ini, sehingga mereka selalu terperangkap pada kehendak untuk melakukan suatu percakapan, bahkan perdebatan yang mubazir di daerah perbedaan. Mereka lupa bahwa berbantahan itu hanya akan melemahkan kekuatan diantara sesama harakah pendakwah.

3. Ta’awun (Saling Menolong)
Apabila cinta kepada Allah telah menghujam di segenap relung dada seorang muslim, maka sifat ta’awun (saling menolong) merupakan salah satu karakter yang melekat seutuhnya pada dirinya. Menolong memiliki makna mengangkat atau meringankan beban orang lain, baik yang diminta maupun yang tidak diminta. Mengangkat seseorang dari penderitaan atau minimal meringankannya, baik dengan harta, jiwa, doa, dan nasihat. Hal itu tidak ada kerugiannya barang sedikit pun, kecuali hanyalah kebaikan belaka.

Itulah sebabnya, ta’awun sebagai dasar falsafah agama begitu mementingkan kekuatan yang merupakan tonggak utama bagi kejayaan akhlak setiap pribadi muslim. Cobalah tengok sejenak, mungkinkah kita mampu menolong orang lain, apabila di dalam dada dan sanubari kita tidak tertanam kekuatan akhlak: Jadi titik sentral Islam ini adalah kekuatan, karena hanya dengan menjadi kuatlah maka segala sesuatunya dapat terwujud. Compang-campingnya umat Islam sekarang ini karena tidak memiliki kekuatan, tercabut kebanggaan diri sebagai khairulummah (yang terbaik), dan hilangnya mahkota jiwa, yaitu semangat jihad.

Ta’awun atau saling menolong tidak murigkin bisa menjadi kenyataan, apabila setiap individu dilanda oleh penyakit wahan, yang pengecut dan lemah. Padahal, tidak ada kamusnya bahwa setiap muslim itu harus hidup secara anani, terisolasi, dan tercabut dari kebersamaan dengan saudara semuslim. Tidak pantas seorang muslim perutnya kekenyangan, sedangkan saudaranya atau tetangganya gemetar menahan diri dari kelaparan. Sangat tidak etis seorang muslim yang hidup berkemewahan: rumah dengan gaya kastil, berbagai mobil mewah dan mutakhir dipajang di garasi rumah, sedangkan di lain pihak tepat beberapa meter dari rumah mewahnya itu bergumul para kaum lemah dan tidak berdaya (mustad’afin), yang terpuruk di gubuk-gubuk kumuh sambil menjalin mimpi. Lantas bagaimana jika para hartawan itu tidak mempunyai kekuatan moral untuk menolong sesama, saudaranya, lalu apalah arti kemewahan yang Allah karuniakan kepadanya?

Tolong-menolong itu sudah dijadikan satu aksioma dalam agama kita, khususnya tolong-menolong dalam kebaikan (al-birri) dan dalam kecintaan kepada Allah (at-taqwa). Hal ini sebagaimana firman Allah:

“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. ” (al-Maa’idah: 2).

Sikap saling menolong tersebut memberikan empat konsepsi bagi setiap anggota jamaah, yaitu sebagai berikut:

a. Dia tidak akan membiarkan saudaranya berbuat zalim maupun menzalimi dirinya.

b. Dia tidak akan makan kenyang apabila di lain pihak saudaranya masih kelaparan. Dia tidaklah pula akan mampu tertawa, sementara masih banyak saudaranya yang rnenangis.

c. Dia akan selalu menjadi seorang pionir untuk mengambil inisiatif menolong dan mengangkat sesama saudaranya dari derita dan duka mereka. Meringankannya dari segala beban, mencegahnya dari yang mungkar, walaupun tidak dimintakan pertolongan sekalipun. Karena baginya hidup yang indah adalah kehidupan yang mempunyai makna dan arti bagi lingkungannya. Dialah manusia yang pertama hadir, ketika ada orang yang tertimpa musibah. Dengan harta, tenaga, lidah, bahkan jiwa raganya, dia pertaruhkan dirinya untuk membela dan menolong sesama saudaranya, dalam arti yang sebenar-benarnya, tanpa mengharap pujian, apalagi tepukan.

d. Jiwanya cepat tergetar setiap melihat penderitaan manusia, karena dia sadar bahwa pada dirinya ada energi batin yang tidak bisa dibiarkan secara mubazir, sehingga selalu mendorong dirinya untuk menyingsingkan lengan baju, dan siap memberikan pertolongan. Sungguh dia ingin menjadi sirajam munira (orang menyentuh mata hati dan menyinari sesamanya). Menjadi lampu yang mempunyai cahaya benderang dan menerangi setiap relung kehidupan dengan syiar Islam melalui sikap dan tindakannya yang nyata.

Sungguh, apabila sikap ta’awun ini sudah menjadi “kegemaran” bagi setiap pribadi muslim, khususnya anggota jamiatul mukmin, maka akan lahirlah harmoni, keseimbangan, dimana yang kuat menjadi pelindung yang lemah, yang kaya menjadi penggembira orang yang miskin, yang berilmu menjadi pelita bagi yang awam. Besar tidak melanda, kecil tidak patut terhina. Inilah sikap ta’awun tersebut. Cobalah bayangkan makna dari doa dalam bersin. Bukankah apabila ada orang yang bersin, kemudian dia berkata, “Alhamdulillah.” Maka harus kita jawab dengan ucapan atau doa, “Yarhamukullah.” Ini juga punya makna global bahwa apabila ada saudaranya yang bersin di Sabang, maka akan segeralah terdengar balasan ucapan yarhamukullah, dari seluruh saudaranya sampai ke Merauke.

4. Takaful (Saling Bertanggung Jawab)
Hasrat ingin ber-ta’aruf, rindu bersilaturahmi, gandrung ber-ta’awun, sebenarnya dikarenakan kita semua merasakan adanya rasa tanggung jawab terhadap agama, terhadap amanat, dan rasa cinta yang besar terhadap sesama saudara seiman. Perasaan tanggung jawab ini, menyebabkan dirinya sangat waspada, dan mempunyai kendali diri yang tinggi untuk menjaga sesama saudaranya dari kehancuran, fitnah, dan celaan. Dia merasakan bahwa dirinya adalah juga bagian dari saudaranya yang lain. Juga merupakan satu tubuh, yang apabila kakinya terinjak duri maka berdenyutlah rasa sakit itu sekujur tubuhnya. Inilah dasar tanggung-jawab setiap muslim untuk menghindari dan sekaligus membentengi saudaranya dari segala cela dan fitnah. Rasulullah saw bersabda:

“Barangsiapa menutupi cela saudaranya, maka Allah Ta’ala akan menutupi celanya di dunia dan akhirat.” (HR Ibnu Majah).

Seorang muslim harus pandai sekali menjaga rahasia temannya, penuh amanat apabila diberi titipan, dan penuh tanggung jawab terhadap keselamatan sesama saudara seiman. Bahkan, dalam memegang rahasia, setiap pribadi muslim benar-benar menjaga amanat tersebut. Karena teguhnya memegang suatu rahasia maka ia langsung “mengubur” amanat tersebut dan tidak pernah sedikit pun terbongkar.

Karena rasa tanggung jawab yang diselimuti dengan rasa cinta sesama anggota jamaah, maka ia tidak pernah sedikit pun ingin mengungkit sejarah buruk saudaranya dan membongkar cacat saudaranya sendiri. Rasulullah saw bersabda:

“Janganlah kamu semua meneliti (mencari-cari) kejelekan orang lain, jangan pula mengamat-amatinya, juga janganlah saling memutuskan ikatan, saling menyeteru, dan jadilah hamba Allah yang saling bersaudara.” (HR Bukhari dan Muslim).

Jika seorang muslim mendengar berita dari seseorang tentang perbuatan tercela saudaranya, hendaknya ia berdiam diri. Tidak perlu menambah dengan komentar dan tidak pula ikut larut menganalisis dengan penuh buruk sangka (su’uzhan). Sesungguhnya, yang menyebabkan renggangnya tali persaudaraan dan rapuhnya tali cinta adalah perasaan buruk sangka.

Setiap umat Rasul selalu mawas diri, menjaga lidahnya, dan terus-menerus merakit tali persaudaraan diantara sesama muslim. Hal ini tampak dari tekadnya untuk selalu menjadikan dirinya sebagai pembela dan pelindung dari harkat dan derajat sesama muslim. Apabila diberi amanat Allah berupa kekayaan, kekuasaan, atau ilmu pengetahuan, dia tidak akan melupakan sesama saudaranya untuk memberikan bantuan dan pertolongan agar dapat dicarikan jalan keluar bagi saudaranya tersebut.

Kekuasaan, jabatan, dan harta adalah amanat. Dia sadar bahwa semuanya harus mempunyai nilai bagi saudaranya yang seiman. Sebab itu, seorang muslim tidak perhah egois. Dia selalu merindukan saudaranya agar dekat dan akrab dengan dirinya dalam suka dan duka. Apabila dia berkuasa maka sesama saudaranyalah yang dijadikan prioritas untuk dibantunya. Apabila dia punya kelebihan harta maka infak yang dia berikan ditujukan untuk para kerabat saudaranya seiman terlebih dahulu, ini semua menunjukkan rasa takaful dari seorang anggota jamiatul muslimin.

F. Mengibarkan Panji Persaudaraan
Sebagaimana metode (manhaj) yang telah digariskan Rasulullah saw., maka program rekrutmen untuk menambah jumlah saudara seiman itu dimulai dari kelompok terdekat terlebih dahulu. Setiap anggota wajib hadir dalam pertemuan taklim, tarbiyah, dan takwiniyah yang digariskan oleh jamaahnya. Kemudian masing-masing anggota akan berupaya dengan keteladanan akhlaknya merekrut saudaranya terdekat untuk masuk dalam taklim tersebut guna mendapatkan cucuran hikmah dan kemuliaan akhlaknya melalui percikan petunjuk A1-Qur’an.

Jiwa seorang mujahid dakwah akan tampak dalam semangat untuk menyeru dan menarik manusia ke dalam shaf persaudaraan lni. Jiwanya tidak mengenal lelah, tidak mengenal minder, apalagi gentar untuk menawarkan sebuah jalan yang lurus, guna menyelamatkan dari kegelapan menuju cahaya. Partikel-partikel ikhwan bertebaran menebarkan cahaya nubuwah dengan memercikkan air rohani yang menyegarkan tumbuhan yang kering. Kemudian dia tebarkan benih-benih unggul itu dalam taman jamaah yang disiram melalui butiran tarbiyah yang membawa ketenteraman batin (mutma’inah). Sebuah taman miniatur dari kehidupan yang Islami, di mana terlihat dengan sangat jelas keakraban, persaudaraan, serta budi luhur yang diikat oleh sebuah kerinduan untuk menebarkan rasa damai.

Apabila setiap anggota jamaah mampu membuat perencanaan yang baik dan tepat, serta ditindak-lanjuti melalui program jamaahnya, maka dalam waktu beberapa hari saja akan tampaklah bekas-bekas sujudnya. Yaitu, ketika jami’atul ikhwan sebagai lambang persaudaraan itu terwujud dan membawa manfaat kedamaian bagi umat semuanya. Partikel ini bagaikan pecahan sel-sel hidup yang menghidupkan, yang ditata dan dikelola dengan profesional yang terpadu serta kurikulum yang jelas. Niscaya jamaah ini akan mempunyai mujahid dakwah yang bergerak dinamis, yaitu menyeru dan menebarkan benih-benih kesejukan hati.

Panji-panji persaudaraan harus diangkat ke atas sebagai suatu pertanda atau simbol yang memberikan petunjuk bahwa di dalam masyarakat, di mana pun keberadaannya, ada satu kelompok manusia yang menawarkan jasa pelayanan, sebagai bala tentara persaudaraan yang akan memberikan harapan, kesejukan, dan kedamaian bagi umat manusia. Panji-panji ini bagaikan pisau bermata dua, dari segi intern membina anggota muslim untuk menjadikan dirinya manusia berprestasi yang berakhlak mulia melalui berbagai programnya yang ringan dan realistis. Sedangkan segi eksternnya, mereka menyeru bukan menghakimi. Ikatan persaudaraan yang berawal dari ucapan dan keyakinan terhadap dua kalimat syahadat harus menjadi dasar pijakan anggota jamaah. Perbedaan dalam metode dakwah, maupun tata cara yang berkaitan dengan khilafiah, bukan suatu alasan untuk memutuskan tali silaturahmi. Keyakinan ini harus melekat dan menghunjam di hati kita semua sebagai seorang muslim yang merindukan satu binaan umat yang padu.

Kita harus mahfum bahwa masyarakat itu selalu berkembang. Tingkat berpikir manusia selalu berkembang. Tingkat berpikir manusia selalu bervariasi. Dan pola perilakunya pun sangat ditentukan oleh intensitas rangsangan (stimulans) yang mempengaruhi dirinya. Maka kewajiban kita semua adalah berlomba untuk memenangkan rangsangan terhadap Al-Qur’an melawan rangsangan non-Al-Qur’an. Hal ini jelas membutuhkan waktu, kesabaran, keuletan, dan toleransi yang amat tinggi. Persaudaraan yang dilandasi roh tauhid, seharusnya lebih diutamakan daripada berbagai perbedaan yang ada di kalangan umat. Apalagi kalau perbedaan itu hanyalah dalam hal khilafiah, rasanya tidak pantas menjadi penyebab putusnya tali ukhuwah. Begitu pula perbedaan dalam hal metode dakwah, juga tidak boleh mengalahkan roh ukhuwah diantara sesama muslim yang bergerak maju untuk menjayakan al-Islam.

G. Ringankan Jangan Memberatkan
Dakwah dan panji persaudaraan yang diikat oleh tali iman akan menunjuk pada satu sikap iktidal (lurus) dikarenakan para jamaah muslim itu menghayati betul akan berbagai makna ayat di dalam Al-Qur’an maupun hadits yang mengajak umat manusia untuk berbuat segala sesuatunya termasuk ibadah dalam kondisi yang tu’maninah
ringan dan tidak berlebih-lebihan. Hal itu sebagaimana firman Allah SWT:

“… Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu….” (al-Baqarah: 185).

Apabila Allah sendiri menghendaki perbuatan amaliah yang akan meringankan hamba-Nya, apalagi kita sebagai manusia yang lemah ini, apakah tidak mau peduli dengan kerahmanan-Nya Allah? Hal itu sebagaimana hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas. Ia mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Jauhilah olehmu sikap melampaui batas dalam agama, sebab orang-orang sebelum kamu telah binasa karena sikap melampaui batas dalam agama.” (HR Ahmad, an Nasa’i, Ibnu Majah, dan Hakim dengan sanad sahih).

Ketika Mu’adz memanjangkan bacaan shalat berjamaah, beliau pun bersabda kepadanya, “Hai Mu’adz, apakah engkau ingin menimbulkan fitnah?” Ucapan ini, beliau ulangi sampai tiga kali. Teguran Rasulullah tersebut terhadap Mu’adz memberikan penegasan kepada kita bahwa janganlah kita melaksanakan suatu syariat agama hanya sekadar mengikuti kata hati saja. Akan tetapi, hendaknya selalu ditimbang dengan kadar akal dan kemampuan dari para jama’ah atau kaum muslimin lainnya. Hal ini sebagaimana kebiasaan Rasulullah saw apabila diminta untuk memilih diantara dua pilihan, maka beliau memilih yang lebih ringan selama hal itu tidak mengandung dosa.

Walau demikian, hal ini tentunya tidak melarang seseorang yang karena ingin mencari keutamaan dalam pendekatan (taqarub) kepada Allah, lantas melatih diri dan mencari sesuatu yang lebih utama yang oleh kebanyakan manusia dirasakan berat. Karena hal itu justru merupakan suatu panggilan nurani dalam rangka mencanangkan pembersihan jiwa (tadzkiatun-nafs) melalui berbagai program melatih diri (riyadhah). Hanya saja janganlah amalan yang sifatnya khusus dipaksakan sebagai sesuatu yang bersifat umum, sehingga bisa menumbuhkan berbagai tafsiran seakan-akan agama ini terasa sangat berat bagi pemeluknya yaitu manusia pada umumnya.

Dr Yusuf Qardhawi seorang intelektual dari Mesir –dikenal si’bagai penerus dari kepeloporan Hasan al-Bana–menyebutkan, “Bahwa seorang juru dakwah yang bijaksana adalah yang dapat menyampaikan dakwahnya dengan sehalus-halus cara dan selunak-lunak kata, tanpa mengurangi sedikit pun dari kandungan maknanya kepada orang.”

Sedangkan Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulummuddin menyebutkan, “Tidaklah seseorang layak ber-amar maruf nahi munkar, kecuali ia bersikap lemah lembut dalam menyuruh berbuat baik dan lebih lembut dalam mencegah kemungkaran, dan benar-benar memahami apa yang diperintahkan-Nya dan apa yang dilarang-Nya.”

Suatu saat, seseorang mendatangi dan mendakwahi Sultan al-Makmun agar ia berbuat baik dan menghindari kemungkaran. Akan tetapi, cara yang disampaikannya terasa kasar dan jauh dari sikap kesejukkan. Kemudian al-Makmun yang dikenal oleh orang-orang karena pengetahuannya yang luas dalam agama, maka ia berkata kepadanya, “Wahai Saudaraku, bersikaplah lemah lembut dan santun. Sebab Allah SWT pun telah mengutus orang yang lebih baik darimu (Nabi Musa a.s.) kepada orang yang lebih jahat daripadaku (Fir’aun), dengan perintah-Nya agar bersikap lemah lembut. Diutus-Nya Musa dan Harun untuk menemui dan menegur Fir’aun, seorang yang lebih jahat daripadaku, seraya berpesan kepadanya kemudian al-Makmun membacakan kepadanya sebuah ayat:

“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lembah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Thaha: 43-44).

Dengan cara itu, lelaki yang mendakwahi al-Makmun tersebut terdiam. Dia sadar akan kata dan kalimat yang disampaikannya kepada al-Makmun sebagai suatu sikap yang tidak Islami.

Beberapa orang Yahudi pernah mengolok-olok Rasulullah, mereka menyampaikan salam kepada Rasulullah dengan ucapan, “As-samu’alaikum,” (artinya, matilah engkau), sebagai ganti dari ucapan, “Assalamu’alaikum” (damai sejahtera untukmu). Kemudian Aisyah ra. marah dan membalas ucapan Yahudi itu dengan ucapan yang keras. Sedangkan, Rasulullah saw tidak mengucapkan apa pun kecuali sebuah ucapan pembalasan yaitu “wa’alaikum” (demikian pula atasmu). Setelah itu, beliau menegur Aisyah r a.. seraya bersabda:

“Sungguh Allah menyukai orang-orang yang bersikap lemah-lembut dalam segala hal.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain Rasulullah saw bersabda, “Siapa saja yang dijauhkan daripadanya sikap lemah lembut adalah orang yang dijauhkan daripadanya segala kebaikan.” (HR Muslim).

H. Air Mata dan Amalnya
Malam hari menangis, siang hari bagaikan singa lapar yang “bolak balik” tidak mengenal lelah menundukkan dunia mencari fadilah yang disulut oleh sebuah tekad semangat yang ingin menjadikan dirinya penuh arti, bermanfaat, dan berprestasi. Para ikhwan gampang terenyuh melihat penderitaan kaum mukmin, sehingga kadang-kadang dirinya sendiri tidak begitu diperhatikan demi membela sesama saudaranya. Maka, dalam melatih diri (riyadhak) agar menjadi hati yang tumpah cintanya kepada Allah (mahabbah lillah), tampaklah tetesan air matanya yang mengenang di pelupuk matanya yang merefleksikan rasa cemas dan harap kepada Allah.

Sikap seperti inilal yang difiirmankan oleh Allah SWT: “Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu.” (al-Isra’: 109).

“Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu menertawakan dan tidak menangis?” (an-Najm: 59-60).

Air mata yang bergulir dari kelopak mata dan membasahi kedua pipi para ikhwan, bukanlah suatu gambaran kecengengan, tetapi suatu sikap kelembutan hati dari suatu jihad. Karena bagi para ikhwan sikap yang keras itu tidak selamanya harus dinyatakan dengan cara yang keras. Bahkan sebaliknya, ada semacam moto bahwa pendiriannya tetap keras dan tangguh (istiqamah), tetapi cara mendakwahkannya adalah lemah-lembut menyejukkan.

Di dalam Sunnah Rasulullah saw, tetesan air mata pun mempunyai nilai ibadah yang sangat luhur, sebagaimana berbagai hadits sahih meriwayatkannya. Rasulullah saw bersabda:

“Andaikan kamu mengetahui sebagaimana yang aku ketahui, niscaya engkau akan sedikit tertawa dan lebih banyak menangis.” Seketika itu pula para sahabat menutup muka masing-masing, dan menangis terisak-isak. (HR Bukhari dan Muslim).

Abu Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidak akan pernah masuk ke dalam neraka, seorang yang pernah menangis karena takut kepada Allah. Dan tidak akan dapat berkumpul debu dalam jihad fisabilillah dengan asap neraka Jahanam.” (HR at-Tirmidzi).

Bahkan, cobalah simak dan resapkan dengan sangat mendalam, lalu jadikanlah tujuh tipe manusia yang akan dilindungi Allah kelak di yaumul akhir ini sebagai kepribadian anggota Ikhwanul Muslimin semuanya; sebagaimana sabda Rasulullah saw pada riwayat berikut:

Abu Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ada tujuh macam orang yang akan dinaungi Allah di bawah naungan-Nya, pada hari di mana tidak ada naungan (hari kiamat) kecuali naungan Allah, yaitu:

1. Imam (pemimpin) yang adil,
2. pemuda yang tumbuh dan tetap taat beribadah kepada Allah,
3. orang yang hatinya terpaut di masjid,
4. dua orang yang saling mengasihi semata-mata karena Allah, baik ketika berjumpa maupun berpisah,
5. seorang laki-laki yang diajak berzina oleh wanita bangsawan yang cantik maka ia menolaknya dengan berkata, ‘Aku takut kepada Allah.’
6. orang yang merahasiakan sedekahnya, sehingga tidak diketahui oleh tangan yang kiri terhadap yang diberikan oleh tangan yang kanan.
7. seorang yang berzikir dengan mengingat kepada Allah dengan seorang diri, kemudian bercucuran air matanya, dan menangis.” (HR Bukhari dan Muslim).

Abdullah bin as-Sikhiri r a.. mendatangi Nabi saw, namun beliau dalam keadaan shalat, maka terdengar napas tangisnya, bagaikan suara air mendidih dalam bejana. (HR Abu Daud dan at Tirmidzi).

Ibnu Umar r a. mengatakan bahwa ketika Rasulullah saw. sakit keras dan beliau mengingatkan untuk shalat berjamaah. Lalu Nabi bersabda, “Suruhlah Abu Bakar menjadi imam.” Lalu, Siti Aisyah ra. berkata, “Abu Bakar itu seorang yang lembut hatinya, jika membaca Al-Qur’an, ia tidak dapat menahan tangisnya.” Nabi bersabda, “Suruhlah Abu Bakar menjadi imam.” (al-Hadits).

Pada riwayat lain, Siti Aisyah ra berkata, “Abu Bakar jika berdiri di tempatmu, orang tidak akan mendengar suaranya karena tangisannya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Abu Utsman bin Ajlan Albahli r a. berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, ‘Tiada suatu yang sangat disukai Allah dari dua tetesan dan dua bekas, tetesan air mata karena takut kepada Allah dan tetesan darah yang tumpah karena mempertahankan agama Allah. Adapun dua bekas ialah bekas dalam perjuangan fisabilillah dan bekas karena melaksanakan kewajiban Allah.” (HR at Tirmidzi).

Hendaknya dengan hadits-hadits yang sahih tadi, kita semua dapat meniru dan meresapkannya, sehingga jiwa kita menjadi roh yang ringan karena selalu mampu melepaskan beban dunia, menyucikan diri dan membersihkan segala jelaga kepahitan hidup melalui linangan air mata. Setelah itu, setelah air mata tumpah dan rasa optimis membumbung, maka tegakkan kembali wajahmu. Pandanglah dunia yang menantang ini, kemudian kerahkan segala pikiran, otot tubuh untuk bersimbah keringat. Lalu tundukkanlah segala budaya durjana dan tegakkanlah prestasi gemilang sebagai suatu kewajiban kehidupan nyata yang Islami. Perasaan berdosa terus mengejar, apabila dalam hidup pribadi maupun berjamaah, ternyata kita tidak mampu mewujudkan apa yang dikonsepsikan oleh Al Qur’an. Oleh karena itu, kepada para ikhwan selalu dituntut sebuah jawaban dari pertanyaan yang sangat sederhana, “Mana bukti konkret dari amalmu, mana gerak nyata dari pernyataanmu, mana pula uluran tanganmu yang mampu mengangkat martabat umat?”

Rangkaian pertanyaan ini membutuhkan jawaban dalam bentuk amal yang nyata. Oleh sebab itu, tidak ada satu pun dari para ikhwan yang berbantah-bantahan, karena berselisih atau berbantahan dalam hal kebenaran yang nyata hanya akan melemahkan persatuan dan tertundanya amal yang nyata. Budaya “kami dengar dan aku taat” (sami’na wa atha’na), menjadi satu kepribadian para ikhwan, bukan karena bai’at kepada imam, tetapi karena panduan A1-Qur’an yang mewajibkannya.

Bisa menjadi suatu kelemahan yang sangat nista, apabila kita hanya menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an dan menyimak ratusan hadits. Akan tetapi, hafalan dan pengetahuan kita hanyalah sekadar penyedap retorika, pemanis bahan pidato, dan sekadar pelengkap referensi dalam diskusi belaka, sungguh merugilah mereka. Sikap “kami dengar dan aku taat” terhadap seluruh keputusan majelis dan komitmen jamaah harus merasuk pada dada semua ikhwan. Karena hanya dengan sistem seperti inilah, wujud kerja konkret dapat segera terlaksana. Insya Allah.

Dari berbagai penjelasan dan penegasan ayat dan hadits-hadits yang sahih tadi, maka muncullah pertanyaan yang ditujukan kepada para jami’atul ikhwan, yaitu sebagai berikut:

1. Pernahkah engkau melakukan timbangan atas amal baik dan amal buruk, melakukan penilaian mengevaluasikan dan mengadili dirimu sendiri (muhasbatun-nafs)?

2. Pernahkah engkau menangis karena menyesali dosa dan kesalahanmu? Padahal bukankah lebih baik kita menyesati dosa kita di dunia, daripada kelak kita menyesali setelah di akhirat? Maka, sesekali menangislah sebelum datang hari di mana engkau yang ditangisi.

3. Pernahkah engkau menangisi segala dosa dan kesalahan yang akan melahirkan optimisme dan ketegaran serta kelembutan jiwa.

Harus dihayati oleh pribadi muslim bahwa air mata –yang dimaksudkan dalam pembahasan ini– bukan saja tetesan yang bergulir dari pelupuk mata kita karena perasaan dosa dan segaia hal yang bersifat melankolis Ilahiyah. Tetapi, air mata juga merupakan suatu perlambang perasaan empati atas penderitaan para dhuafa. Suatu refleksi jiwa yang tergetar melihat penderitaan, kepincangan, serta ketidakadilan.

I. Rumahtangga Muslim Adalah Benteng Pertama dan Utama
Menghadapi budaya Dajal yang semakin menampakkan bentuknya, dengan mencabut jiwa anak-anak muda dari kerinduan dan kecintaannya kepada Allah. Budaya Dajal menawarkan berbagai kenikmatan dunia, dan kita pun harus menghadapinya dengan pola pendidikan dan kebiasaan rumah tangga yang Islami (usrah Islamiyah).

Tayangan televisi menawarkan kehidupan hedonistik sekuler. Gerakan pemikiran bebas nilai (freethinking), okultisme sebagai ajaran mistik, tahayul yang menyesatkan, serta obat-obat setan yang ditebarkan di setiap kegiatan para anak-anak muda, merupakan bentuk yang sehari-hari sangat nyata kita saksikan.

Salah satu usaha preventifnya, tidak lain seluruh keluarga muslim harus mampu membentengi putra-putrinya dari godaan mereka. Yaitu, dengan cara menghidupkan rumah tangga sebagai masyarakat Islam, yaitu miniatur yang di dalamnya ditumbuhkan sunnah dan kebiasaan Islami.

Kebaikan suatu masyarakat sangat ditentukan oleh upaya para keluarga untuk membina dan menegakkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan keluarganya sendiri. Pada periode Rasulullah melaksanakan dakwahnya secara sembunyi-sembunyi (sirriyah), sasaran dakwah yang pertama beliau lakukan adalah menuntun keluarga dan kerabatnya yang terdekat terlebih dahulu, untuk memenuhi perintah Allah. Hal itu sebagaimana firman-Nya:

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah, ‘Sesungguhnya, aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan’…” (asy-Syu’ara: 214-216).

Demikianlah metode awal dakwah Rasulullah yang disambut pertama kali oleh Khadijah binti Khuwalid yang beriman kepada Allah dan Rasulullah saw. Meyakini, membenarkan, bahkan membela dakwah Rasul dengan mengorbankan seluruh hartanya. Seruan dakwah kepada kerabatnya disambut oleh Ali bin Abi Thalib yang merupakan laki-laki pertama yang menerima seruan Rasulullah untuk memeluk Islam.

Walaupun di zaman sekarang sasaran dakwah yang ditujukan kepada keluarga kadang-kadang lebih sulit dibandingkan dengan seruan kepada orang lain, tetapi para anggota jamaah tidak pernah patah hati. Dia sadar bahwa berbagai faktor psikologis yang berkaitan dengan keluarga dan kerabat terdekat, justru lebih besar tantangannya. Mereka tidak patah hati dengan tantangan keluarganya. Karena hal ini pun sudah menjadi suratan sejarah. Sebagaimana Nabi Nuh as. yang tidak mampu menolong anaknya, ummat Nabi Luth a.s. yang membangkang, bahkan paman Rasul sendiri tidak mampu mendapatkan hidayah dari Allah. Apalagi untuk kualitas manusia seperti kita, apakah karena tantangan keluarga atau ketidak-berhasilan membina keluarga menyebabkan kita surut dari dakwah?

Maka di tengah-tengah badai tantangan dan akhlak para keluarga sendiri yang bisa jadi sangat bertentangan atau jauh dari Sunnah, para anggota jamaah akan tetap tegar menampilkan sosok dirinya sebagai mujahid. Mereka sadar bahwa pendidikan dan keteladanan orangtua, serta rasa hormat dan sikap berdisiplin dalam beragama sejak kanak-kanak –sebagai pewaris tauhid– akan sangat jelas mewarnai seluruh perilaku anggota rumah-tangga tersebut. Sehingga, tidak ada alasan baginya untuk memalingkan muka dari tanggung-jawabnya sampai pada batas-batas tertentu, sesuai dengan kemampuannya masing masing.

Hidup yang penuh dengan segala tantangan materiil, godaan kenikmatan sekularisme, serta budaya hedonisme, ternyata tidak saja didapatkan di luar pekarangan rumah, sekolah, atau budaya masyarakatnya, tetapi rangsangan itu telah pula memasuki sudut kehidupan yang sangat pribadi yaitu rumah. Kalau bukan karena pendidikan dan keteladanan yang istiqamah, niscaya rumah pun akan membusuk sebagai “tempat sampah duniawi” yang rakus. Laser disc, video tape, bahkan program televisi atau film yang jarang sekali, bahkan sama sekali tidak pernah sedikit pun memikirkan akhlak, tidak pelak lagi akan menggoda anggota masyarakat kita yang terkecil ini, yaitu rumah tangga.

Membina rumah tangga muslim (binaa al-usrah al-muslimin), jelas bukan pekerjaan yang gampang. Apalagi kita sadari bahwa betapa pun hebatnya keteladanan orang tua, mereka tidak sepenuhnya dapat diawasi dua puluh empat jam oleh mata orang tuanya yang sangat terbatas, dan didera oleh kesibukan hidup yang padat. Hampir separo dari gerak dan wahana pikiran anak-anak kita menjadi objek dari budaya di luar rumah dengan segala konsekuensinya. Bacaan, pergaulan, peran guru, pengaruh teman, dan sahabat di sekolah atau klub permainan, semuanya kadang-kadang bagi anak-anak kita dianggap sebagai sesuatu yang membingungkan, terjadi satu benturan nilai.

Antara sesuatu yang ideal (das sollen) dan kenyataan (das sein). Seakan antara teori dan praktek berbenturan, bahkan bertolak-belakang secara diametral antagonistik. Untuk menjadi anak yang Islami, rasanya dia harus terisolasi dari tatanan pergaulan. Untuk menjadi mahasiswa yang Islami, dia akan berhadapan dengan segala perangkat birokrat yang kadang-kadang bertentangan dengan hati nurani. Banyak lagi persoalan yang sangat kompleks dalam sebuah garis nilai yang seakan-akan saling berlawanan. Tetapi, bagi keluarga anggota jami’atul muslimin, kenyataan ini tidaklah membuat dirinya surut. Mereka sadar bahwa untuk menggapai surga dan janji kenikmatan yang abadi, bukanlah sebuah permainan tanpa perjuangan. Segala konsekuensi telah dia perhitungkan. Segala risiko sudah dia kalkulasi, sekali tauhid tetap tauhid, sekali menata keluarga Islami tidak pantang surut untuk berkompromi dengan budaya jahiliah. Semangat ini yang harus ditanamkan terlebih dahulu kepada seluruh anggota keluarga muslim. Bahwa dia mempunyai jati diri, serta mempunyai sesuatu yang memang berbeda dengan kaum jahiliah.

Semangat dan kekuatan batin para anggota keluarga jamaah merupakan “filter” atau alat penyaring utama keluarga jamaah yang harus ditanamkan kepada seluruh anggota keluarga jamaah. Mereka harus bangga bahwa mereka bukan tipe manusia yang gampang larut karena kebiasaan pergaulan. Mereka tidak merasa terpelanting, dari pergaulan, manakala pergaulan yang ditawarkannya justru bertentangan dengan keyakinannya. Setiap perbedaan bagi para anggota keluarga jamaah dianggapnya sebagai sasaran dakwah. Tidak mungkin dia dipengaruhi ajaran jahiliah, karena justru dirinya harus tampil ke depan mempengaruhi mereka dengan ajaran keselamatan yang akan meluhurkan martabat manusia yang tidak lain adalah al-Islam.

J. Membiasakan Diri
Karena dahsyatnya tantangan di luar lingkungan jami’atul muslimin ini, maka prinsip jamaah mengajarkan kepada seluruh anggotanya agar mereka melatih dan selalu membiasakan diri dalam kebaikan melalui amal-amal jamaah. Misalnya, shalat berjamaah dengan seluruh anggota keluarganya merupakan salah satu ciri amalannya. Makan berjamaah yang diawali dengan doa, dan diakhiri pula dengan saling mendoakan. Sungguh itu adalah suatu kemesraan keluarga yang harus menjadi ciri dan citra keluarga muslim (usrah Islamiyah).

Membiasakan diri mengajak anggota keluarga melakukan perjalanan silaturahmi kepada para kerabat, maupun keluarga sesama jamaah adalah merupakan satu program pembinaan keluarga muslim. Keluarga muslim tidak dibentuk menjadi manusia yang ekstrem atau eksklusif tetapi dilatih dan diajarkan untuk pandai memilih dalam tata pergaulan tanpa memberikan bekas kebencian.

Kalau orang kebanyakan melakukan piknik, mereka pun bisa melakukannya, karena hal itu adalah fitrah manusia. Hanya saja keluarga muslim harus pandai memilih dan merencanakan jenis piknik (rihlah) tersebut, yang jusrtu akan menambah perekat tali kekeluargaannya. Dengan cara ini, mereka dilatih untuk hidup fungsional, tepat guna dan tidak terjebak pada kemubaziran apalagi mempertontonkan kemewahan. Hidup sebagai muslim adalah hidup yang mempunyai program dan arah yang jelas, karena mereka adalah tipe manusia yang dilahirkan sebagai makhluk yang memiliki jati diri, visi, dan misi llahiah, sebagaimana termaktub pada surat at-Taubah:33, al-Fath:28, dan al-Haqqah: 9.

Beberapa kebiasaan yang sangat dominan dilakukan oleh anggota keluarga jamaah diantaranya sebagai berikut:

1. Selalu melaksanakan ibadah berjamaah. Bahkan, salah satu tanda- tanda atau ciri ibadah jamaah adalah mereka yang selalu merindukan shalat berjamaah. Begitu haus dan rindunya mereka akan shalat jamaah maka dia tidak segan-segan mengajak, atau menantikan orang lain agar mereka bisa shalat berjamaah. Apalagi rumah mereka dekat dengan masjid maka secara berombongan, mereka bagaikan lebah menuju sangkar madunya, mereka bergerak menuju masjid terdekat

2. Selalu ada waktu khusus untuk sarana pembinaan dan pengarahan bagi anggota keluarganya. Dalam pertemuan, orang tua memberikan arahan, sekaligus melakukan dialog dengan seluruh anggota keluarganya.

3. Para anggota keluarga dibiasakan untuk melakukan silaturahmi, dan saling mengenal diantara para ikhwan sesama anggota jamaah agar misi perjuangan serta tali persaudaraan dan kekerabatan tidak terputus, tetapi akan dilanjutkan oleh para putra-putrinya sebagai generasi Qur’ani yang akan meneruskan amanat al-Islam.

4. Bersama anggota keluarga ikut aktif melakukan perjalanan dakwah dengan sesama anggota jamaah (rihlah jama’iyah), sehingga bukan saja selalu terjalin hubungan (ittishal), tetapi juga akan mampu menumbuhkan ukhuwah yang lebih mendalam dalam menghayati semangat dan cita-cita jamaahnya.

5. Dengan menanamkan kebiasaan ini diantara sesama anggota keluarga sendiri maupun bersama dengan keluarga anggota jamaah lain, maka secara tidak sadar tumbuhlah pembinaan terhadap masyarakat muslim (bina’al-mujtama’al muslim) yang secara spesifik memberikan kesejukan bagi sekitarnya melalui dakwah amaliah yang simpatik.

Kalau saja para anggota jami’atul muslimin melakukannya dengan konsekuen dan tetap dipimpin oleh niat dan semangat menjayakan agama dan umatnya, maka persatuan umat yang kita rindukan akan segera terwujud. Insya Allah.

dikutip dari buku “Dajjal dan Simbol Setan” karya Drs. Toto Asmara. Penerbit Gema Insani Press

3 tanggapan untuk “Renungan Islam | Jamaah dan Essensi Persatuan Umat (3)”

Tinggalkan komentar